Jangan Ada Korupsi di Antara Corona

Spread the love

Oleh: Slamet Supriyadi*

PEMERINTAH telah menggelontorkan anggaran ratusan triliun rupiah guna menanggulangi wabah pandemik Corona Virusdisease 2019 (Covid-19). Anggaran yang begitu besar bukan berarti membuat terlena, sehingga tidak dilakukan pengawalan dan pengawasan ketat dari lembaga penegak hukum.

Presiden Jokowi telah meminta KPK untuk memonitor penggunaan anggaran tersebut, agar tepat sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pasalnya, tidak menutup kemungkinan anggaran begitu besar itu bisa disalahgunakan atau dikorupsi oleh oknum yang tidak bertanggung jawab, yang mencoba mencari celah mengeruk keuntungan, memperkaya diri di tengah kondisi keprihatinan akibat bencana wabah mematikan ini.

Membincang korupsi, berarti berbicara kejahatan luar biasa yang tidak mengenal empati atau kemanusian. Oleh sebab itu, korupsi merupakan extra ordinary crime atau kejahatan luar biasa, dasarnya adalah konsideran menimbang dari UU No 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No 31 Tahun 1999 tentang Tindak Pidana Korupsi. Bahwa, tindak pidana korupsi yang selama ini terjadi secara meluas, tidak hanya merugikan keuangan negara, tetapi juga merupakan pelanggaran terhadap hak-hak sosial dan ekonomi masyarakat secara luas, sehingga tindak pidana korupsi perlu digolongkan sebagai kejahatan yang pemberantasannya harus dilakukan secara luar biasa.

Lalu bagaimana ancaman korupsi di tengah kondisi bencana pandemik? Karena terkait dengan masalah kemanusiaan, ancaman hukuman korupsi di tengah wabah Corona tidak main-main. Dalam Pasal 2 ayat (1) dan (2) UU Nomor 31 Tahun 1999 menegaskan bahwa setiap orang yang melakukan tindakan melawan hukum dengan cara memperkaya diri sendiri/orang lain, atau korporasi yang dapat merugikan keuangan negara dan perekonomian negara, dipidana penjara dengan ancaman hukuman seumur hidup atau pidana penjara paling singkat 4 tahun dan paling lama 20 tahun, berikut denda paling sedikit Rp200 juta dan paling banyak Rp 1 miliar.

Bahkan, dalam hal tindak pidana korupsi sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dilakukan dalam keadaan tertentu, pidana mati dapat dijatuhkan. Ancaman ini, berkali-kali ditegaskan Presiden Joko Widodo, para penegak hukum, dan instrumen negara lainnya.

KPK sebagai lembaga penegak hukum yang bertugas menangani tindak pidana korupsi, sebagaimana telah diatur dalam Pasal 6 huruf a, b dan c UU Nomor 19 Tahun 2019, bertugas melakukan langkah tindakan dan pencegahan, sehingga tidak terjadi tindak pidana korupsi. Banyak hal yang bisa dilakukan KPK untuk menjaga dana bantuan penanganan Corona agar tidak menguap ke kantong pribadi pejabat atau pihak lainnya. KPK bisa melakukan koordinasi dengan instansi yang berwenang, monitor secara aktif terhadap arus bantuan, dan tentu menindak tegas setiap tindakan koruptif.

Karena korupsi merupakan extra ordinary crime, maka upaya pencegahannya pun harus dilakukan secara luar biasa, bersama peran serta masyarakat seperti diatur dalam Pasal 41 ayat (1) dan ayat (5) UU Nomor 31 Tahun 1999. Masyarakat bisa diajak untuk berperan serta membantu upaya pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi, termasuk dalam penggunaan dana penanganan Covid-19 maupun distribusi bantuan kepada masyarakat terdampak kebijakan pembatasan akibat Corona. Secara teknis, mengenai tata cara pelaksanaan peran serta masyarakat dalam pencegahan dan pemberantasan tindak pidana korupsi dan pelaksaannya diatur dalam PP Nomor 43 Tahun 2018 Pasal 2 ayat (1).

Sejumlah upaya dapat dilakukan untuk mencegah terjadinya praktik tindak pidana korupsi. Pertama, lembaga penegak hukum bisa memberikan surat peringatan kepada pejabat pengguna dana bencana hingga ke tingkat desa. Surat juga bisa berisi kerangka teknis alokasi anggaran yang dilegalkan secara hukum

Dalam hal ini KPK telah menerbitkan Surat Edaran Nomor 8 Tahun 2020 tentang Penggunaan Anggaran Pelaksanaan Barang dan Jasa dalam Rangka Penanganan Corona Virus Disease 2019 (Covid-19) terkait dengan pencegahan korupsi. Kedua, penggunaan dana bencana hingga tingkat desa harus jelas, transparan, dapat dipertanggungjawabkan sesuai peraturan perundang-undangan, dan siap diaudit oleh Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) sebagaimana diatur dalam pasal 1 UU Nomor 15 Tahun 2006.

Ketiga, lembaga penegak hukum mambuat Posko Pengaduan masyarakat untuk melakukan pengawasan penggunaan dana bencana sampai tingkat desa. Keempat, lembaga penegak hukum KPK, Jaksa dan Kepolisian membentuk Tim Khusus gabungan untuk mengawal dan bekerjasama dengan Satgas hingga ke tingkat desa.

Selain anggaran yang bisa digeser secara otomatis, seperti dari Satker Badan Penanggulangan Bencana Daerah (BPBD) dan Dinas Kesehatan, daerah juga diberikan panduan oleh pemerintah pusat untuk melakukan refocusing atau realokasi anggaran sesuai dengan kebutuhan penanganan virus Corona. Meski ada batasan maksimum 7 persen, namun daerah dengan risiko besar bisa menganggarkan lebih besar. Tiap daerah nilainya tidak hanya belasan atau puluhan miliar, tetapi bisa mencapai ratusan miliar. Belum lagi gelontoran bantuan dari pusat dan provinsi. Maka, butuh kesadaran semua elemen pelaksana kebijakan untuk merealisikannya tepat sasaran, juga kesadaran setiap elemen masyarakat untuk berpartisipasi dalam pengawasan. Jangan sampai ada orang yang mengeruk keuntungan dari penderitaan masyarakat akibat Corona. Mari kita awasi! (*)

*Penulis adalah Ketua Bidang Hukum PC ISNU Kabupaten Cirebon dan Mahasiswa Magister Hukum Unissula Semarang.

Sumber: https://cirebonplus.com/berita/jangan-ada-korupsi-di-antara-corona/

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post ISNU, IPNU & IPPNU Kecamatan Gegesik, Bagi-Bagi Masker Gratis
Next post SOAL PUISI PASKAH “BOCAH NU”
ISNU KABUPATEN CIREBON