Boikot Pajak
Oleh Jamaluddin Mohammad
Pernyataan KH. Said Aqil Siraj mengutip hasil Musyawarah ulama-ulama NU pada Munas dan Konbes NU di Pesantren Kempek 2012 silam tentang pajak menuai kritik sejumlah pihak dan dipahami sebagai bentuk seruan untuk memboikot pajak.
Setelah beritanya menggelinding seperti bola salju, Direktur Jenderal Pajak Kementrian Keuangan Suryo Utomo langsung menghadap Ketua Umum PBNU Kiai Yahya Cholil Staquf (Gus Yahya). Tentu saja kedatangan Dirjen Pajak ini bisa langsung ditebak dan bisa dipastikan untuk meminta dukungan PBNU membendung ancaman boikot pajak. Salah satu pengurus PBNU yang ikut mendampingi pertemuan tersebut, Yusuf Hamka, langsung merespon dan menyebut penyataan Kiai Said kurang bijaksana bahkan profokatif.
Benarkan Kiai Said mengkampanyekan pemboikotan pajak? Statemen Kiai Said memiliki asbabul wurudnya (konteks) sendiri. Ia sedang menceritakan bahwa penyelewengan dana pajak tidak kali ini saja. Di era kepemimpinan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono bangsa ini pernah diguncang kasus penggelapan pajak yang melibatkan pegawai pajak Gayus Tambunan. Peristiwa ini langsung direspon ulama-ulama NU dalam Munas dan Konbes NU di Pesantren Kempek, Cirebon. Satu dari dua rekomendasinya adalah: âJika pemerintah tidak sungguh-sungguh memberantas penggelapan dan penyelewengan dana pajak, maka kewajiban membayar pajak oleh pemerintah wajib ditinjau ulangâ.
Bahkan, hasil keputusan Bahtsul Masail waktu itu manyatakan bahwa di dalam syariat Islam tidak ada kewajiban membayar pajak. Pembayaran pajak boleh dilakukan bagi rakyat yang mampu untuk kemaslahatan rakyat. Artinya, dalam syariat Islam (fiqh), membayar pajak hukumnya mubah (boleh). Di samping itu pajak tidak boleh dibebankan kepada rakyat kurang mampu.
Jadi, dalam pandangan ulama NU, pembayaran pajak tidaklah mengikat secara agama meskipun mengikat secara undang-undang negara. Agama memiliki institusi sendiri yang disebut zakat. Inilah yang dikritik Kiai Masdar Farid Masudi dalam bukunya âAgama Keadilanâ. Menurutnya, zakat dan pajak secara kelembagaan tak boleh dipisahkan. Zakat adalah pajak. Keduanya ibarat ruh dan jasad. Juga seperti dua sisi mata uang yang saling melengkapi. Zakat ukhrawi, sedangkan pajak duniawi. Dengan demikian, pembayar pajak adalah pembayar zakat juga.
Dalam sejarahnya, kata Kiai Masdar, zakat/pajak merupakan bentuk lain dari âupetiâ dan âsesajiâ. Yang pertama dipersembahkan kepada raja atau penguasa sebagai bentuk kesetiaan rakyat kepada penguasanya. Yang kedua merupakan bentuk âdoaâ yang telah dimateralkan. Dua-duanya mengalami distorsi dan penyelewengan.
Yang tak boleh dilupakan dan merupakan tujuan utama zakat/pajak (maqasid syariah) adalah fungsi moral dan etis dari zakat/pajak, yaitu keadilan dan kesejahteraan rakyat yang berangkat dari lapisan paling bawah dalam strata sosial: masyarakat miskin (fuqara dan masakin).
Di sinilah sebetulnya relevansi statemen Kiai Said. Ia sebetulnya sedang mengkritik keras prilaku pengelola pajak korup seperti Rafael Alun Trisambodo. Jika para pejabatnya korup, tidak amanah, dan malah memperkaya diri, maka tujuan zakat/pajak tak akan tercapai dan terpenuhi. Distribusi kekayaan hanya akan berputar-putar pada orang kaya saja (QS al-Hasyr: 07).
Sekali lagi, kritik keras Kiai Said sangat diperlukan oleh bangsa ini di tengah anjloknya kepercayaan masyarakat terhadap lembaga ini. Yang lebih miris lagi, laporan terakhir yang disampaikan Menko Polhukam Machfud MD yang menyebut ada pergerakan uang mencurigakan sebesar 300 triliun di lingkungan Kementrian Keuangan. Pergerakan uang tersebut sebagian besar di direktorat Jenderal Pajak serta Direktorat Jenderal Bea dan Cukai.
Dalam situasi dan keadaan darurat seperti ini, bangsa ini tak butuh penjilat seperti Jusuf Hamka. âNahdliyyin Muallafâ ini harus diberikan pemahaman bagaimana cara berpikir kiai-kiai NU. Orang alim seperti Kiai Said kecil kemungkinan melempar kritik tanpa didasari keilmuan dan pengetahuan. [JM]
Ket. Photo: pementasan tari kecak di Uluwatu Bali. Di dalamnya diselipkan cerita Mahabarata tentang penculikan Sinta oleh Rahwana. Cerita ini mengingatkan saya tentang âperampasan harta milik rakyatâ (Sinta) oleh pejabat Pajak Rakus Rafael Alun Trisambodo (Rahwana).