Di rumah saja

Darurat Corona, Masihkah Salat Jumat dan Berjamaah di Masjid?

Spread the love

Oleh: Masyhari*

“Salat berjamaah di masjid dilarang. Tapi pasar masih ramai. Dasar sekuler!”

Demikian kata sebagian orang yang masih ngotot ke masjid atau rumah ibadah lainnya untuk melaksanakan kegiatan peribadatan di tengah merebaknya Covid 19.

Masjid adalah “rumah” Allah, tempat suci dan paling utama untuk mendekatkan diri kepada-Nya. Masjid disebut masjid karena ia merupakan tempat bersujud. Saat bersujud, itulah posisi paling dekat antara hamba dengan Sang Pencipta, Allah Yang Maha Esa. Karenanya, larangan pergi ke masjid dianggap sebagai bentuk upaya musuh Islam untuk menjauhkan manusia dari Tuhannya. Sehingga, masih saja ada yang keukeuh dan mengabaikan maklumat dari pemerintah, otoritas kesehatan, fatwa keagamaan baik dari MUI ataupun LBM NU, agar melakukan psysical atau social distance (jaga jarak kontak fisik) dengan menghindari tempat-tempat kerumunan orang.

Hanya saja, ternyata di tempat lain yang potensial kumpulkan orang, semisal pasar, warung, toko, dan sejenisnya, yang sifatnya urusan duniawi, masih saja banyak yang buka.

Sebenarnya, aktifitas apapun yang mengundang kerumunan banyak orang sama-sama harus dihindari, baik masjid, seminar, pasar, toko, acara hajatan, dan sebagainya, sebab setiap kerumunan, berdasarkan maklumat dari otoritas yang berwenang dan info medis yang tersebar, berpotensi besar sebagai media penyebaran Covid 19. Bahkan, baru saja Kang Emil, Gubernur Jabar memetakan ada 4 kluster penyebaran Covid 19 di Jabar. Mereka yang terlibat di 4 acara tersebut diharuskan cek kesehatan untuk memastikan bebas dari Corona. Lebih-lebih setelah 3 dari kepala daerah di Jawa Barat, yaitu Bupati Karawang, Walikota Bogor dan Wakil Walikota Bandung positif Corona.

Karena itulah, semaksimal mungkin kita harus menghindari kerumunan orang dan berusaha berdiam diri di rumah, sampai keadaan normal kembali. Sebagaimana kita tahu, otoritas pendidikan, mulai dari Kemendiknas hingga dinas pendidikan telah meliburkan aktifitas pendidikan di sekolah-sekolah formal, mulai PAUD hingga Perguruan Tinggi. Perkuliahan selama dua pekan ini, secara nasional, pun dilakukan secara Daring (dalam jaringan) atau online.

Bahkan, pendidikan nonformal berbasis keagamaan, mulai dari pengajian anak-anak hingga majelis taklim emak-emak sudah diliburkan, sesuai dengan amanat DMI maupun Kemenag RI.

Mungkin, bisa jadi, liburan dan kuliah Daring akan diperpanjang hingga beberapa pekan atau bulan ke depan, hingga kondisi telah normal kembali. Wallahu a’lam. Semoga keadaan segera normal kembali dan aman seperti sedia kala.

Lantas, mengapa kita dilarang ke masjid, sementara toko masih terbuka lebar?

Begini, dalam panduan beribadah kita dipandu dengan dasar ilmu fikih. Ilmu fikih didefinisikan sebagai pengetahuan terhadap hukum-hukum yang berhubungan dengan perbuatan manusia yang mukallaf, disarikan dari dalil-dalil terperinci. Hukum-hukum fikih terbagi lima, yaitu haram, makruh, wajib, sunah dan mubah. Haram berarti yang harus ditinggalkan. Bila dikerjakan, dalam perspektif akidah, akan menyisakan dosa dan bermuara pada siksa di neraka. Kebalikkannya yaitu wajib, yaitu sesuatu yang harus dilakukan. Yang melakukan kewajiban dapat pahala dan bermuara pada surga. Bila ditinggalkan, akan berdampak pada dosa dan mengarahkan para jurang siksaan api neraka.

Sedangkan makruh secara bahasa berarti sesuatu yang tidak disukai. Makruh dianjurkan untuk ditinggalkan. Meninggalkannya merupakan hal yang dianjurkan. Meskipun, menurut definisi umumnya, bila makrüh dilakukan tidak berdosa, tapi meninggalkannya berpahala.

Di tengah-tengahnya, antara keempat hukum di atas ada mubäh. Mubäh berarti yang diperbolehkan. Ibähah berarti boleh-boleh saja. Boleh disebut juga jawàz. Mubah kadang disebut juga halal. Makanan halal berarti yang boleh dimakan. Jenis pekerjaan yang berstatus halal berarti boleh dilakukan.

Sunnah adalah kebalikan dari makruh. Sunah berarti yang dianjurkan untuk dilakukan. Bila dilakukan berpahala, bila ditinggalkan tidak berdosa, tapi sayang bila melayang sia-sia.

Kita kembali ke fokus pembahasan. Salat di masjid secara berjamaah, terkait status hukumnya, para ulama berbeda pendapat. Menurut Mazhab Syafi’i hukumnya sunnah muakkad. Artinya, anjuran yang diperkuat. Lebih dari sekedar anjuran. Sehingga, salat di masjid punya kelebihan 27 kali lipat dibandingkan salat sendiri di rumah. Ini pendekatan keimanan, apa kata Nabi dan Tuhan.

Sebagian ulama lain menyebut salat berjamaah hukumnya fardhu kifayah, artinya bila telah dilakukan oleh sebagian orang yang mencukupi (sah disebut berjamaah, yaitu 2 orang), maka gugurlah kewajiban atas yang lain. Ini tentu hanya pandangan dilihat dari kacamata status hukum semata.

Bila dilihat dari perspektif ilmu maqashid Syari’ah (the philoshopy of Islamic law), salat berjamaah punya keutamaan lebih karena mengandung makna sosial. Dengan salat berjamaah, sesama muslim akan saling bertemu dan mengenal, sehingga timbul mahabbah (cinta) dan rahmah (kasih sayang) antar sesama manusia. Hal ini, misalnya tercermin ketika seorang masuk masjid, bersalaman dan berjabat tangan antar satu sama lain. Lantas, ketika menutup ibadah salat, ia ucapkan salam ke kanan dan kirinya. Ini menyiratkan ajaran Islam, bahwa seorang Muslim yang salat harus tebarkan salam dan perdamaian kepada sesama, kanan kirinya, dan sekelilingnya.

Dengan salat berjamaah, akan diketahui kondisi satu sama lainnya, dengan tegur sapa. Selanjutnya diikuti dengan adanya saling peduli, saling menopang (tadhämun dan takäful), dan saling tolong menolong (ta’äwun). Sehingga muncul kekuatan dan kesuksesan secara bersama-sama (kolektif).

Salat berjamaah bisa jadi hukumnya dari sunnah muakkad atau fardhu kifayah bisa berubah menjadi makruh atau malah haram bila kondisinya berbeda. Artinya, bila dengan adanya tindakan berjamaah (berkumpul dan berkerumun) itu timbulkan mafsadat atau dharar (bahaya) bagi jiwa (nafs) yang merupakan bagian yang harus dijaga (dharuriyyat), maka hukum berjamaah bisa jadi haram atau minimal makruh. Menjaga nyawa yang dharuri dengan menolak bahaya (dar’ul mafäsid) itu lebih diutamakan daripada mendatangkan kemaslahatan (jalb mashalih) meskipun itu bagian dari agama (hifzh ad-diin) yaitu salat berjamaah. Kaidah fikih menyatakan bahwa “menolak kerusakan (tindakan preventif) lebih didahulukan daripada mengais kebaikan”. Ini sejalan dengan kaidah dinamika hukum yang disebutkan oleh Ibnu Qayyim Al Jauziyyah, bahwa tidak dipungkiri suatu hukum bisa jadi berubah statusnya sesuai dengan perubahan situasi, waktu, tempat, niat dan adat.

Lebih-lebih, bila level maslahat tidak sampai darurat, tapi hanya sebatas hajjiyat. Artinya, kalau tidak berjamaah di masjid, salat masih bisa dilakukan secara berjamaah di rumah bersama keluarga atau bahkan sendirian pun tak apa-apa. Sehingga, hifzh ad-diin masih bisa tetap terwujud.

Belum lagi bila kita menggunakan kaidah darurat. Bila suatu yang diharamkan saja boleh dilakukan bila dalam kondisi darurat (terpaksa), maka bagaimana bila itu hanya levelnya anjuran, tentu lebih bisa ditinggalkan bila anjuran itu mengarah (dzari’ah) pada bahaya.

Nah, bagaimana dengan pasar, toko dan belanja kebutuhan?

Sebagian pasar masih dibuka, karena ada kebutuhan dasar manusia yang harus dipenuhi. Bila tidak butuh-butuh amat (darurat), pasar sebaiknya dihindari, bahkan sebisa mungkin ditutup sementara, untuk dilakukan pembersihan (sterilisasi), hingga kondisi telah normal kembali.

Toko-toko kelontong atau sembako masih juga dibuka karena menjual kebutuhan dasar sehari-hari untuk makan, menyambung kehidupan. Bila kebutuhan pangan telah cukup tersedia di rumah, maka keluar rumah harus dihindari. Artinya, tidak semestinya keluar rumah, kecuali dalam kondisi darurat.

Lantas bagaimana dengan tempat hiburan? Beberapa pimpinan daerah telah memberikan maklumat (amaran) agar tempat-tempat hiburan dan permaianan ditutup. Mari kita ikuti dan taati himbauan pemerintah dan otoritas yang berwenang, demi kebaikan bersama. Salam sehat.[]

*Penulis adalah sekretaris PC ISNU Kabupaten Cirebon

#DaruratCovid19
#stayathome
#tetapdirumah
#Bersamakeluarga

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Corona dan Respon Masyarakat Indonesia
Next post Tetap Sabar Di Saat Was-Was, Cemas dan Gemas
ISNU KABUPATEN CIREBON