
Corona dan Respon Masyarakat Indonesia
Oleh: Abdul Muiz Syaerozie*
Begitu mewabah di Wuhan, Corona langsung menjadi sebuah fenomena yang mampu menjadi pusat perhatian hingga dibaca oleh banyak kalangan.
Respon atas fenomena Corona melahirkan berbagai macam interpretasi. Mulai dari tafsir teologis hingga tafsir sosio-politis.
Tentang Corona, ada yang menafsirkan wabah tersebut sebagai azab atas bangsa Cina. Ia digambarkan sebagai tentara Allah yang siap melumat kaum kafir Cina. Namun, ketika wabah ini juga menimpa pada kaum muslim hingga bisa mengganggu aktivitas umroh dan salat Jum’ah, tesis yang dibangun kelompok Islam fundamentalis pun gugur dengan sendirinya.
Selain tafsir yang bersifat telogis eksklusif tersebut, Corona juga ditafsirkan sebagai cara China untuk mengurangi penduduknya yang berusia lanjut (lansia). China termasuk negara yang memilki jumlah penduduk dengan usia di atas 65 tahun cukup banyak. Mereka ditanggung oleh negara. Bagi China, wabah Corona adalah cara untuk mengurangi beban keuangan negara.
Tak kalah menarik dari tafsir di atas. Corona juga ditafsir sebagai rekayasa musuh bebuyutan China yakni, Amerika. Perang dagang China versus Amerika merupakan pemicu lahirnya virus Corona. Amerika sengaja memuntahkan senjata biologisnya di Wuhan agar ekonomi China lumpuh.
Ada pula yang memaknai bahwa Corona merupakan bagian dari aksi yang direncanakan oleh gerakan Fremansonry, sebuah misi perdagangan dan politik dunia yang dipelopori Yahudi.
Tentu saja berbagai tafsir ini berdiri di atas logika dan paradigmanya masing-masing.
Di Indonesia, walaupun DBD lebih mematikan dan lebih banyak menelan korban ketimbang Corona. Tetapi kehadiran Corona di negara pimpinan Jokowi ini mampu menggetarkan khalayak publik. Bagi pemerintah, kematian akibat Corona tidak begitu ditakuti. Namun, proses penularan yang begitu cepat dan mengglobal inilah yang membuat dag dig dug degup jantung para pemegang kebijakan.
Mengapa demikian? Karena pemerintah menyadari akan keterbatasan fasilitas kesehatan yang dimilikinya. Kita tidak bisa membayangkan sebuah rumah sakit harus mampu menampung ribuan bahkan jutaan pasien yg harus diisolasi selama 14 hari. Tenaga medis terbatas, ruang isolasi juga terbatas. Menumpuknya jumlah pasien mengancam pelayanan kesehatan di negeri ini akan lumpuh. Inilah malapetaka bagi Indonesia.
Tetapi masyarakat Indonesia sendiri tidak begitu gusar. Persiapan lahir batin sudah dilakukan. Berbagai doa yang di ijazahkan oleh para ulama sudah begitu banyak. Masker-masker dan sabun anti septik sudah disimpan. Dan bahkan ketidaktakutan itu nampak sekali dari perilaku masyarakat di kala kebijakan gubernur DKI meliburkan sekolah, justru dimanfaatkan oleh masyarakat untuk berwisata ke Puncak, Bogor.
Himbauan untuk tidak berada di kerumunan, justru masyarakat menggelar doa tolak bala keliling kampung, dan faktanya, rumah sakit-rumah sakit hingga hari ini tidak membludak dengan pasien. Masyarakat Indonesia kebal secara sosial. Mereka pemberani, kuat dan kompak bersama pemerintah melawan Corona.
Sangat sederhana bagaimana kebanyakan masyarakat Indonesia menyikapi Corona. Pertama, Corona tidak boleh melumpuhkan berbagai aspek kehidupan masyarakat. Kegiatan-kegiatan yang bersifat kerumunan harus tetap berjalan. Karena masyarakat Indonesia punya budaya kumpul-kumpul. Kehidupan kumpul-kumpul yang menjadi imunitas sosial dari segala ancaman mental asing yang serba individualistik, tak boleh mati lantaran Corona.
Kedua, Indonesia tetap dalam track ekonomi yang berkeadilan. Tidak terjebak dalam perang dagang blok Cina-Amerika, bahkan Indonesia harus menjadi pelopor gerakan kemanusiaan di dunia. (Bersambung).
MARI NIKMATI KORONA: KOPI, ROKOK DAN NASI.
* Penulis adalah ketua umum PC ISNU Kabupaten Cirebon masa khidmat 2018-2022