Soal Banyak Awam Diulamakan

Spread the love

Abdul Muiz Syaerozie*

Belakangan muncul fenomena unik -terutama di kota-kota besar, khususnya Jakarta- yakni banyak awam diulamakan.

Fenomena ini membuat saya jadi teringat dawuhipun kakek saya, Almaghfurlah Mbah Kyai Abdul Hannan. Saya tidak mendengar langsung dari beliau. Sebab, saat saya lahir, Kyai Abdul Hannan sudah lama wafat. Ucapan Mbah yai Abdul Hannan saya peroleh dari ibu saya.

Dulu, ibu saya pernah menyampaikan pada saya, bahwa Kyai Abdul Hannan pernah bicara, “Besuk akeh kirik munggah panggung!” Ungkapan itu tentu membuat saya jadi penasaran. Apa maksudnya?

Kata ibuku, maksudnya nanti di suatu masa banyak orang yang tidak kompeten di bidang agama berani tampil di mimbar sebagai penceramah.

Belakangan, ketika saya teringat dawuhipun Mbah kyai Hannan dan penjelasan dari ibuku itu, perhatian saya langsung tertuju pada orang-orang seperti Nursugik, Felix Siwawaw, Tengku Zulkarnain, dan penceramah perempuan yang pernah tampil di TV dengan kasus salah nulis Arab.

Saya perhatiakn beberapa video ceramah Nursugik, sama sekali tak ada isi, kecuali cacian dan makian pada orang-orang atau kelompok yang dibenci Nursugik. Ceramahnya hampa, tak ada pengetahuan agama kecuali hanya membuat para pendengarnya makin membenci pada orang-orang atau kelompok yang dicaci Nursugik dalam ceramahnya.

Tak jauh berbeda dengan Nursugik, mengamati video ceramah Felix siwawaw, saya bisa simpulkan, seluruh persoalan hidup dan kehidupan manusia selesai hanya dengan beberapa gelintir hadis dan beberapa ayat al-Qur’an yang ia hafal saja. Padahal, banyak ribuan, bahkan jutaan hadis yang boleh jadi lebih menemukan konteksnya ketimbang satu hadis yang dihafal Felix.

Begitu pula saya menonton video ceramah Tengku Zulkarnaen. Orang ini awalnya dari style atau tampilan pakaiannya cukup menarik perhatian saya. Tetapi ketika mentashrif kata kufur saja tidak bisa. Kesimpulan saya, dia belum berkompeten di bidang agama.

Apalagi dengan penceramah perempuan (lupa namanya), saya hanya tersenyum ketika sedang ceramah bergaya menulis ayat Al-Qur’an dengan tulisan Arab, tetapi tulisannya salah total.

Itu hanya beberapa contoh saja. Masih banyak lagi di kota-kota besar seperti Jakarta, Depok, Bogor dan lain-lain yang hanya bermodal kemampuan dalam public speaking, beberapa ayat al-Qur’an dan satu hadis saja sudah diulamakan atau diustadzkan oleh kalangan masyarakatnya.

Fenomena inilah yang mungkin dimaksud oleh Kyai Abdul Hannan, “Besuk akeh kirik munggah panggung.”

Kenapa fenomena semacam ini terjadi? Dalam kelompok berbasis keagamaan, ada kelompok-kelompok tertentu yang menyeru dan sekaligus menugaskan pengurus-pengurusnya untuk aktif berceramah di tengah masyarakat, padahal yang bersangkutan tidak memiliki riwayat pendidikan agama secara mendalam.

Belajar agama di kota-kota besar terbatas pada ngaji kupingan di majelis taklim, maupun melalui media sosial. Intinya, belajar agamanya sangat instan. Akibatnya, berdakwah tanpa dilandasi keilmuan yang matang. Begitu pula, masyarakat kota lebih tertarik pada penampilan pakaian ketimbang isi otak atau kualitas keilmuan.

Orang yang berjubah hafal satu hadis akan lebih dipercaya daripada orang yang memakai celana sarung dengan peci hitam miring namun hafal ratusan hadis. Kalau kata orang Cirebon, “sing penting gaya dikit toli ilmu.” Bagi Masyakat kota, simbol lebih berkharisma ketimbang substansi. Karenya, banyak awam yang diulamakan dan diustadkan.

*Ketua PC ISNU Kab. Cirebon

Leave a Reply

Your email address will not be published. Required fields are marked *

Previous post Memahami Islam Nusantara
Next post Dari Budidaya Pertanian ke Industri:  Mengkaji Status Wilayah Cirebon Timur dalam Perda RTRW Kabupaten Cirebon
ISNU KABUPATEN CIREBON